Senin, 22 Oktober 2012

Taurat No.1

Cerita ini berawal di sebuah daerah di perbatasan antara Thailand dan Malaysia. Segerombolan teroris sedang berlatih dan berdiskusi di sebuah area di kedalaman hutan tropis. Udara yang lembab senantiasa menyelimuti para pasukan pembela panji keagamaan yang setia menjunjung tinggi nilai-nilai agama dengan senjata dan ketakutan. Ada beberapa tenda dalam sebuah areal semi lapang yang terletak jauh di atas pegunungan. Sebenarnya mengapa para kaum "jihad" ini tumbuh begitu subur di daerah perbatasan ini karena memang daerah ini merupakan kantung umat muslim yang cukup besar di daerah asia tenggara daratan. Dengan mudah kita dapat menjumpai masjid-masjid besar di daerah perbatasan terutama di wilayah Thailand.

Di dalam salah satu tenda seorang pria dengan pakaian seperti sorban lengkap dengan janggut dan tanan menggenggam senjata dengan mantab terlihat sedang berbicara dengan suara berat dan agak berbisik ke beberapa orang yang juga duduk sila di hadapannya. "Gejolak massa sudah semakin sesuai dengan apa yang ku harapkan, terror dan ketakutan sudah semakin menghantui masyarakat. Inilah tujuan kita, menyebarkan ketakutan agar masyarakat menuntut rasa aman kepada pemerintah dan hingga nantinya mencapai sebuah titik dimana masyarakat ragu terhadap kekuatan pemerintah, maka di situ lah kekuatan kita muncul sebagai pencerah. Ini adalah cara diplomatis yang paling efektif untuk merebut simpati dan tentunya kekuatan pemerintah." tandas Ali, ketua kompi angkatan mujahiddin itu kepada panglima-panglima perangnya. Dan semua menganggu seraya memperhatikan dengan seksama setiap jengkal kata yang diucapkan oleh seorang anggota terbaik Al-Qaeda dan merupakan salah satu prajurit andalan Osama Bin Laden itu. 5 Orang panglima perang Ali adalah Busya, Mehdi, Mechmed, Abbu, dan Mansyur. Kelima orang ini disinyalir kuat merupakan pelaku-pelaku terror di beberapa negara Asean, termasuk Indonesia. Namun 5 orang ini merupakan orang-orang yang merupakan otak besar dibalik teror itu dan keberadaannya tidak terendus sama sekali oleh interpol, terlebih oleh Polisi negara-negara tempat mereka melakukan terror. Mereka begitu licin bahkan beberapa dari mereka memiliki lebih dari 78 identitas diri, dan mereka dapat memerankan tiap identitas itu dengan baik dan sempurna.

bersambung.....

Branding, Imaging, and Service

hahahahah.. mungkin judulnya terdengar terlalu "PINTAR" padahal sih tidak juga. Awalnya seperti ini, saya dan pasangan saya adalah orang yang sangat konsumtif, kami suka sekali memanjakan diri dan menikmati uang hasil jerih payah kami untuk sesuatu yang memang nikmat. Jadi alhasil, kami sering menghabiskan waktu untuk "bekerja" di cafe, restauran, atau lounge karena kami selalu merasa tempat-tempat inilah yang bisa memberikan ketenangan bagi kami. Namun, adakalanya kami menemukan bahwa beberapa tempat tersebut kadang tidak sesuai dengan ekspektasi kami, terutama soal pelayanan. Sejauh ini kami sering sekali mengajukan keluhan jika mengalami hal-hal yang tidak mengenakan dan tidak jarang kami menghubungi manager yang sedang bertugas jika memang sudah kelewatan dan jika belum puas dengan penanganan oleh sang manager, tidak sungkan kami berkicau di dunia maya. Salah satunya ketika saya makan di sebuah restauran steak di fX Sudirman beberapa waktu lalu, tepatnya saat bulan puasa. Karena semua tempat penuh, maka saya beserta partner memutuskan untuk makan di foodcourt, yang salah satu restorannya menyajikan ayam goreng. Saya pesan, dan setelah lebih dari setengah jam kemudian pesanan saya datang. Dalam keadaan lapar saya makan, dan tanpa disadari bagian dalam ayam goreng itu masih berdarah-darah. Rasanya ingin muntah tapi saya sudah sangat lapar sekali. Lalu saya datang menghampiri kembali ke toko tersebut, dan mengeluhkan tentang ayam tersebut. Sambutan mereka SANGAT BIASA SAJA SEKALI, seperti tanpa penyesalan salah satu karyawannya hanya mengambil, dan berkata "nanti kami antar pak". Kemudian dengan perasaan agak kesal saya kembali duduk, dan tak lama kemudia datanglah chicken wing itu, diantar oleh managernya dan ia meminta maaf. Saya bilang, saya tidak mau makan ayam ini lagi karena saya tidak percaya anda memasaknya dengan benar. Dan sang manager itu hanya memberikan solusi, "kalo mau ganti menu, bapak TAMBAH UANG lagi". Waaah.. saya sangat emosi mendengar itu. Namun partner-partner saya mengingatkan untuk tidak membersar-besarkan masalah tersebut. Maka saya coba makan ayam itu. Dan, ya memang ayamnya tidak MENTAH lagi seperti yang pertama, tetapi sikap karyawan dalam menghadapi keluhan yang menurut saya agak serius itu terkesan seperti biasa sajah. Lalu saya berkicau di twitter, beserta fotonya. Lalu sekitar 4 hari kemudian, twit saya diMention dengan meminta nomer saya dan sekitar 3 hari berikutnya ada yang menelpon saya mengaku manager operasional restoran tersebut, dan meminta maaf atas kelalaian tersebut dan ingin memberikan voucher makan secara cuma-cuma. Menurut saya itu tetap solusi bodoh, karena saya sudah trauma dan tidak akan pernah makan di restoran itu lagi, jadi voucher makan di restoran itu adalah hal terbodoh yang bisa saya terima. Akhirnya saya tolak, lalu orang itu juga berkata bahwa hampir semua karyawan dan manager restoran itu sudah dimutasi. Terus, saya bangga gitu? Atau saya puas? Terus saya percaya jika itu terjadi? Saya rasa tidak adalah jawaban paling tepat untuk itu semua. Dan hal seperti ini sering terjadi di banyak restoran atau coffee house di Jakarta, namun terkadang orang terlalu malas untuk komplen karena takut dibilang cerewet atau bawel, atau ada beberapa teman saya yang memang benar-benar takut jika komplen maka sang pelayan akan melakukan hal yang konyol seperti memasukan AIR PEL ke dalam minuman. Hal ini sungguh terjadi, namun tidak pada saya. Teman saya yang bekerja di sebuah gerai kopi melakukan hal ini karena seorang tamu mengeluhkan tentang rasa minuman yang ia buat, dan terjadi beberapa kali. Akhirnya karena emosi ia memasukan air cucian pel ke dalam minuman, dan tertawa di balik gerainya saat melihat sang tamu meminum minuman "istimewa" tersebut. Menurut saya ini sudah gila. Pertama karena kualitas pekerja di Jakarta masih jauh di bawah standar, terutam untuk pekerjaan yang berkaitan dengan pelayanan. dimana masih banyk orang-orang yang bukan sejatinya bekerja di bidang ini namun karena keterbatasan lapangan kerja mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan ini karena terpaksa. Alhasi, kualitas pelayan yang menjadi korban dari keadaan ini. Kedua adalah masalah lemahnya pengawasan dari instansi pemerintah yang berkaitan dengan standarisasi kualitas pelayanan restoran dan tempat sejenis. Jadi memang makanan atau minuman yang disajikan tidak memiliki standar kualitas tertentu kecuali standar kualitas dari franchiser yang umumnya dari luar negeri. Yah, semoga kedepannya masih ada perusahaan atau pemerintah sendiri yang peduli tentang hal ini. Kami membayar cukup mahal untuk makanan dan minuman ini, masa dikasih air cucian pel?? Semoga tidak terjadi di tempat lain yah.. amin.

Minggu, 14 Oktober 2012

Tangisan Blues Indonesia

Salah satu event musik blues terbesar di Asia Tenggara, Jakarta International Blues Festival telah berlangsung kemarin. Menampilkan beberapa musisi-musisi blues lokal dan internasional. Ada beberapa musisi lokal yang memang sudah menjadi kondang sebagai artis blues namun ada juga beberapa artis musisi yang menurut saya kebermusikannya JAUH dari esensi BLUES, salah satunya adalah band KOTAK. Band yang dilahirkan dari sebuah kompetisi pencarian bakat di salah satu TV swasta Indonesia ini merupakan band rock metal dengan balutan lirik-lirik yang romantis, bahkah beberapa single terakhir mereka terdengar cukup lembut dan lebih terkesan Ballad. Popularitas band KOTAK memang sudah tidak perlu diragukan lagi, DAN itu luas secara nasional. Tidak heran di tiap pertunjukannya kotak mampu menyihir begitu banyak penggemarnya untuk datang dan berteriak bersenandung bersama. Mungkin alasan klasik komersial inilah yang menyihir juga para jajaran pengurus JIBF 2012 untuk menghadirkan kotak di event yang diadakan sekali tiap tahun ini. Begitu banyak musisi blues yang mengereyutkan dahi ketika mereka mengetahui fakta ini, dan begitu banyak tanda tanya menyala-nyala di atas kepala mereka. Ya memang tidak dapat dipungkiri bahwa musik blues masih menggeliat di tanah air ini. Namun beda halnya di BALI, Kuta Beach Festival yang selalu berlangsung tiap tahun, selalu sukses menghadirkan musisi-musisi blues dan rock and roll. Hal ini sangat mungkin terjadi karena memang penikmat musik blues, yang memang masih mayoritas orang asing, banyak terdapat di Bali, beda halnya di Jakarta. Sebagai musisi blues, saya merasakan betul bagaimana perjuangan kami agar musik blues dapat diterima dan dimengerti oleh kalangan pecinta musik tanah air yang memang sudah sangat keblinger dengan musik pop dan Jazz, hal ini tentu dapat kita lihat dari perhelatan musik Jazz di Indonesia yang begitu banyak dan bertaraf Internasional.

Sosialita, Cinta dan Rock and Roll

Berkat menunggu yang begitu lama, dan membosankan akhirnya tulisan inipun muncul. Entah mengapa saya sangat tertarik dengan perilaku orang baik secara individu maupun secara berkelompok. Hari ini saya sedang menikmati kegiatan menunggu itu di sebuah kedai kopi di sebuah mall besar di Jakarta Selatan. Setelah memesan minuman, yang sebenenarnya bukan kegemaran saya, blended green tea, saya memutuskan untuk duduk di sebuah meja (yang ada bangkunya tentu) yang terletak dekat dengan booth coffee makernya, yang mana biasanya saya tidak pernah suka duduk di tempat yang menurut saya terlalu frontal seperti ini. Biasa saya lebih memilih untuk duduk di tempat yang tersembunyi atau paling tidak  agak tertutup, saya agak pemalu (yea, right). Saya memutuskan untuk duduk di tempat tersebut karena saya tertarik dengan segerombolan ibu-ibu yang tidak terlalu tua namun juga tidak muda. Mereka berlima sedang duduk dan berbincang layaknya ibu-ibu khas daerah sini.  saya tidak dapat mendengar jelas apa isi percakapan mereka karena memang di sisi lain saya sedang berkonsentrasi pada hal lain. Mereka tidak seperti ibu-ibu yang biasa saya lihat di mall. Setelah berbincang cukup lama, mereka pun mengakhiri percakapan dengan BERDOA. Ya, mereka berdoa selayaknya mereka habis beribadah atau melakukan siraman rohani. Hal ini yang membuat saya cukup terkejut, karena hal seperti ini tidak biasa dilakukan, namun jika dilakukan akan sangat keren sekali. 

Intinya adalah, bahwa saya yang seorang skeptis dan sinistis terhadap lingkungan sosialita yang sebenarnya bukan merupakan dunia yang terlalu jauh dari kehidupan saya dapat juga merasakan bahwa tiap karakter tidak terlalu bergantung dan dapat dengan mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Lingkungan pekerjaan dan kegiatan saya berkaitan dengan sosialitas yang memang memiliki akar pemikiran akan sebuah standar yang ketat dan abosulit. Ada begitu banyak logika yang kemudian luntur oleh kebutuhan sosial, yang mana hal ini telah menjadi lebih tinggi derajatnya dari kebutuhan sandang itu sendiri, dan pangan tentunya. Kebutuhan sosial ini telah menjadi tonggak perubahan ekonomi dan membuat segalanya menjadi drastis, drastis akan perubahan dan drastis akan tingkatan kebutuhan. Mungkin sejatinya telpon genggap seperti blackberry bukan merupakan kebutuhan utama kaum ibu yang setiap harinya mengurus anak dan rumah tangga, namun kini kebutuhan sosial yang bersifat prestis telah mengalahkan kebutuhan natural itu. Saya pernah berbicara dengan rekan saya dari Jerman, Inggris dan Australia, dan mereka semua datang pada sebuah kesimpulan yang sama dimana mereka cukup terkejut akan aktifitas para kaum ibu di Indonesia dengan smartphone mereka. Karena memang sejatinya, Blackberry adalah sebuah Email receiving gadget yang bisa digunakan untuk telpon, namun sekarang berubah fungsi. Dan seperti semua "pelanggaran" fungsi lainya hal ini menjadi maklum. 

Kadar ekstentrik dari sebuah tingkah laku sosial ini juga semakin merajah di  kalangan muda, terutama di kota-kota besar. Saya bertemu dengan beberapa anak sekolah dan masih berseragam sekolah di sebuah mall besar di Jakarta Selatan dan saya agak memperhatikan penampilan mereka yang tidak menggunakan tas sekolah, berpakaian layaknya menggunakan seragam kerja, dan bertingkah bagi seorang wanita dewasa. Hal ini  membuat saya semakin berpikir skeptis tentang kualitas manusia Indonesia di masa yang akan datang, dengan nalar yang masih terbelakang remaja-remaja ini semakin tenggelam dalam sebuah jebakan dimensi kebutuhan yang senantiasa diciptakan oleh para produsen barang-barang kebutuhan sosial. Apakah ini akan menjadi akhir dari tabiat bangsa Indonesia yang terkenal akan nilai-nilai anti kemapanan dan penuh dengan kesederhanaan? Atau mungkin hal ini hanyalah sebuah hal yang memang selalu dipandang demikian dari sebuah generasi ke generasi berikutnya. Apakah ada semacam rasa takut yang ditimbulkan oleh perubahan ini? Tidak semua orang memang dapat menerima perubahan, mungkin generasi di atas saya juga akan berkata demikian.